TOTAL DIKUNJUNGI

Perjalanan Sejarah Komjen Pol M Yasin Sang Pahlawan

Komisaris Jenderal Polisi Dr H. Mohammad Yasin
tribratanewsntb.comTanggal 21 Agustus 1945, atau delapan hari sebelum Pemerintah RI
mengangkat R.S. Soekanto sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara, anggota Tokobetsu Keisatsu Tai atau Polisi Istimewa bentukan Jepang, memproklamasikan dibubarkannya Polisi Istimewa, dan kemudian dibentuk Polisi Indonesia.
Dengan proklamasi, maka lepaslah keterikatan Polisi Istimewa dengan Jepang. Juga, mengubah status polisi dari Polisi Kolonial menjadi Polisi Negara Merdeka.
Proklamasi itu sekaligus juga merupakan antisipasi terhadap kemungkinan Jepang melucuti senjata Polisi Istimewa, seperti yang mereka lakukan terhadap tentara Pembela Tanah Air pada saat itu.
Moehammad Jasin, lahir di Bau-Bau, Buton,
Sulawesi Tenggara tanggal 9 Juni 1920. Dia adalah tokoh Proklamasi Polisi Indonesia.
Moehammad Jasin, memulai pendidikannya di Pendidikan Umum di Volkschool, Bau-bau. Kemudian melanjutkan ke Hollands Inlandsche School (HIS) dan Schakel School di Makassar.
Terakhir, menempuh pendidikan di Meer Uitgerbreid lager Onderwijs (MULO). Setelah tamat dari MULO tahun 1941, Moehammad Jasin mengikuti pendidikan kepolisian di Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
Moehammad Jasin menyelesaikan pendidikan ini dengan pangkat Hoofd Agent. Tugas pertamanya di
kantor polisi seksi 111 di Bubutan, Surabaya.
Pada masa awal pendudukan Jepang, Moehammad Jasin kembali ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan polisi ala Jepang, yang lebih bercirikan pendidikan militer. Sesudah itu, Moehammad Jasin ditempatkan di Gresik dan bertugas sebagai instruktur di sekolah polisi di Surabaya.
Sekolah Polisi di Surabaya adalah tempat mendidik calon-calon anggota Tokobetsu Keisatsu Tai (Polisi Istimewa). Di sekolah ini, bukan hanya ilmu kepolisian yang diajarkan, tetapi juga kemiliteran. Di samping itu, Moehammad Jasin juga memberikan pelatihan terhadap anggota Seinenda.
Setelah Indonesia Merdeka, Jasin melibatkan dirinya secara aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tindakan pertamanya yang cukup monumental ialah memproklamasikan Polisi Istimewa menjadi Polisi Indonesia .
Selama bulan-bulan pertama sesudah proklamasi kemerdekaan, Surabaya menjadi kota “Terpanas” di Indonesia. Terutama karena adanya perebutan senjata dari pasukan Jepang, maupun pertempuran melawan pasukan sekutu.
Dalam perebutan senjata, ada dua peran Moehammad Jasin, yang kemudian menjadi catatan sejarah.
Pertama, dalam perebutan senjata di Don Bosco, dimana Jepang menjadikan gedung Don Bosco sebagai gudang senjata (arsenal) terbesar di Surabaya. Saat itu, tokoh-tokoh pejuang Surabaya termasuk Bung Tomo, meminta agar senjata di Arsenal tersebut diserahkan. Tapi tidak berhasil. Pihak Jepang bersedia menyerahkan senjata hanya kepada kepada polisi.
Kedua, di markas Kempeitei. Saat itu para pejuang Surabaya terlibat dalam baku tembak dengan pasukan Jepang. Dalam suasana seperti itu, dengan menerobos kawat berduri, Moehammad Jasin memasuki markas dan menemui komandan Kempeitei untuk mengadakan perundingan.
Sebagai hasil dari perundingan itu, pihak Kempeitei bersedia menyerahkan senjata. Moehammad Jasin pun berjanji akan menjamin keselamatan anggota Kempeitei selama mereka berada di Surabaya.
Beberapa hari setelah pertempuran Surabaya meletus, Moehammad Jasin mengumumkan lewat radio bahwa pasukan Polisi Istimewa yang dipimpinnya sudah dimiliterisasi dan karena itu diharuskan ikut dalam pertempuan.
Dengan demikian, polisi tidak hanya berfungsi sebagai alat keamanan, tetapi juga sekaligus sebagai alat pertahanan. Selama pertempuran Surabaya berlangsung, Moehammad Jasin memimpin pasukannya dalam pertempuran di beberapa tempat.
Ia meninggalkan Surabaya dan memindahkan markasnya ke Sidoarjo menjelang akhir November 1945, setelah hampir seluruh kota ini dikuasai Inggris. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, Moehammad Jasin bergerilya di sekitar Gunung Wilis. Ia juga bertugas sebagai Komandan Militer Sektor Timur Madiun.
***
Nama Moehammad Jasin tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan Mobiele Brigade (Mobbrig), yang kemudian berganti nama dengan Brigade Mobil (Brimob). Pasukan khusus yang dapat berfungsi sebagai pasukan tempur ini dibentuk pada bulan November 1946, dalam konferensi
Djawatan Kepolisian Negara di Purwokerto.
Moehammad Jasin yang hadir dalam konferensi itu, diangkat menjadi Komandan Mobiele Brigade Besar (MMB) Jawa Timur, sekaligus koordinator Mobrig di semua keresidenan di Jawa Timur.
Sebagai komandan MBB Jawa Timur, pada bulan September 1948, Moehammad Jasin memimpin 4 Kompi Mobrig untuk bersama dengan pasukan Tentara Nasional Indonesia menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.
Setelah Madiun dikuasai kembali oleh pasukan pemerintah, Jasin dan pasukannya melancarkan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Dalam periode tahun 1950-an, Moehammad Jasin juga terlibat dalam menumpas berbagai pemberontakan dalam negeri, antara lain pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pada waktu di Sumatera terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemerintah Amerika Serikat bermaksud menempatkan pasukan marinir di Riau dengan alasan menjaga instalasi minyak milik perusahaan Amerika dan keamanan warga negara Amerika. Moehammad Jasin beranggapan bahwa penempatan pasukan itu sebagai bantuan terselubung Amerika untuk PRRI. Dengan persetujuan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, Moehammad Jasin menemui Duta Besar Amerika Serikat, Howard P Jones. Kepada Duta besar tersebut dikatakan bahwa tugas pengamanan dapat dilakukan oleh pasukan Mobrig, sehingga Amerika Serikat tidak perlu mengirimkan pasukan marinir. Jaminan yang diberikan oleh Moehammad Jasin dapat diterima oleh Jones dan Moehammad Jasin pun menempatkan pasukan Mobrig di Riau seperti yang dijanjikannya.
Pada akhir 1959, Moehammad Jasin diasingkan keluar negeri, yakni ke Jerman. Latar belakangnya adalah dia menentang pengangkatan Soekarno Joyonegoro sebagai Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian. Alasannya, Soekarno Joyonegoro “disenangi” oleh PKI. Sebagai protes Moehammad Jasin menolak untuk diangkat menjadi Wakil Menteri Angkatan Kepolisian mendampingi Soekarno Joyonegoro.
Pada akhir Desember 1964, Presiden Soekarno meminta Moehammad Jasin untuk menemuinya di Paris. Dalam pertemuan itu, Presiden mengatakan bahwa Moehammad Jasin akan diangkat menjadi menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Pada awal Januari 1965, Moehammad Jasin kembali ke Indonesia. Setelah bertugas beberapa waktu sebagai Sekretaris Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Moehammad Jasin dipanggil ke istana untuk dilantik sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Namun, atas desakan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dr. Subandrio, pengangkatan itu dibatalkan.
Selain berkiprah di lingkungan kepolisian, Moehammad Jasin juga pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan kemudian MPR. Di luar lembaga kenegaraan, Moehammad Jasin tercatat sebagai anggota Pimpinan Markas Besar Legiun Veteran RI dan Ketua Yayasan 10 November, serta beberapa organisasi lain. Dari tahun 1967 sampai 1970, Moehammad Jasin bertugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh RI untuk negara Tanzania.
***
Setelah melalui tahapan pengusulan, akhirnya gelar Pahlawan Nasional diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2015 pafa tanggal 4 November 2015. Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan kepada:
a. Alm. Bernard Wilhem Lapian
b. Alm. Mas Isman
c. Alm. Komisaris Jenderal Polisi. Dr. H. Moehammad Jasin
d. Alm. I Gusti Ngurah Made Agung
e. Alm. Ki Bagus Hadikusumo
Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada 5 putra terbaik bangsa Indonesia. Pemberian gelar ini seiring dengan peringatan Hari Pahlawan tahun 2015 yang mengusung tema “Semangat Kepahlawanan adalah Jiwa Ragaku”.
Untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, telah dilalui berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, baik persayaratan umum maupun khusus. Berdasarkan pasal 25 UU Nomor 20 tahun 2009, syarat untuk memperoleh gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan terdiri atas:
a. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
b. Memiliki integritas moral dan keteladanan
c. Berjasa terhadap bangsa dan negara
d. Berkelakuan baik
e. Setia dan tidak menghianati bangsa dan negara
f. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun. 

Sedangkan persyaratan khusus sesuai pasal 26 UU Nomor 20 tahun 2009, gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya:
a. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan
c. melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.
d. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
e. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa
f. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Almarhum Komjen Pol (Purn) Dr H Moehammad Jasin, wafat pada tanggal 3 Mei 2012. Almarhum meninggalkan istri Almh Hj Siti Aliyah Kessing dan 4 putra, yaitu:
a. Rubyanti Jasin
b. Djauhar Jasin
c. Djuanda Jasin (alm)
d. Djuwaita Jasin
sumber: buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang : Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama