KEGADUHAN MUI DIMASA JOKOWI
Sejujurnya.... semakin tahu dalamannya MUI semakin ngeri. Posisi absolut MUI "di dalam"
pemerintahan sebelum Jokowi, itu hampir
tak terjamah. Di tahun-tahun pertama,
pemerintahan Jokowi mulai menyoroti apa, siapa dan bagaimana MUI ini.
Fatwa MUI tentang penistaan agama yang menghebohkan dunia, bukanlah fatwa pertama yang
menghebohkan masyarakat Indonesia. Tahun
2015, MUI pernah mengeluarkan pernyataan tentang BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan syariah Islam, menjadi
pangkal soal. Asumsi yang berkembang di
masyarakat, fatwa MUI tersebut
menganggap BPJS Kesehatan adalah haram.
Apakah masyarakat bodoh dalam menyimpulkan? Hal tersebut harus tetap dikembalikan pada bunyi penjelasan
MUI sendiri. Karena takut dibully masyarakat,
Prof. Jaih Mubarok, anggota Dewan Syariah
Nasional MUI menjelaskan, “Bukan fatwa haram,
teksnya bukan haram. Ini ijtima komisi fatwa MUI keputusannya bukan BPJS haram, tapi BPJS
yang sekarang berjalan tidak sesuai
syariah.” Hal itu buru-buru juga dijelaskan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, yang menampik pihaknya telah mengeluarkan fatwa
tentang pengharaman layanan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan oleh pemerintah.
Masih di tahun 2015, tiba-tiba MUI mengeluarkan pernyataan “Bila tidak ada yang bagus
mualamahnya dan akhlaknya, maka daripada
calon non muslim yang menang, tak apa
memilih calon pemimpin yang korup, …” Pernyataan itu disampaikan dengan
mengintrodusir penjelasan normatif; "Yang terbaik, pilihlan pemimpin
muslim yang mualamahnya dan akhlaknya bagus,
yang tidak korupsi,…” (Kamis, 30/7/2015). Tetapi kemudian disambung dengan
kata-kata sebagai berikut; "Daripada calon non muslim, pilih calon muslim
yang korup.”,
Pernyataan MUI seperti itu sudah mulai memperlihatkan
adanya banyak kepentingan di dalamnya.
Pernyataan itu pula yang rupanya memicu umat
mulai berpikir tentang haramnya memilih pemimpin non-muslim. Opini umat mulai
terbentuk sejak tahun 2015 tentang larangan memilih pemimpin non-muslim. Dan Ahok pasti mendengar
pernyataan tersebut. Jadi tidak salah ketika Ahok bilang bahwa ada orang-orang yang membohongi ibu-ibu
bapak-bapak pakai Al Maidah 51. Kenapa...
kenapa MUI bersikap demikian?? bersikap seolah
mengkotakkan umat. Apakah ini karena pada bulan Maret 2015, pemerintahan Jokowi mencabut
dana bantuan sosial untuk MUI ? Harus
diakui, pemangkasan Bansos ini adalah
keputusan yang cukup berani dari
pemerintahan Jokowi. MUI selama ini selalu
berada dalam posisi status-quo yang tak seorang
pun bisa menjamahnya. Setelah era lengsernya Soeharto dengan politik otoritarianisme, demokratisasi dan kesetaraan
non-diskriminasi tentu menjadi tantangan berat bagi keberadaan MUI yang
dogmatis dan absolut.
Apalagi munculnya kesadaran baru, bahwa keyakinan masing-masing umat, adalah hak asasi yang harus
dihormati oleh siapapun, termasuk
negara. Demokratisasi, HAM, toleransi,
adalah isyu-isyu yang secara diametral
bisa berlawanan dengan fatwa-fatwa MUI,
yang tentu cenderung dogmatis. Pada posisi ini, dimana sebenarnya posisi dan keberadaan MUI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural seperti Indonesia, yang semula berkait dengan kemaslahatan umat,
kemudian menjadi alat legitimasi
kekuasaan, dan kini perlahan berubah masuk bukan saja mengurusi keuangan umat, melainkan juga mendesakkan
dalil-dalil syariah dalam sistem hukum kenegaraan kita?
ref. Catatan A. syah