TOTAL DIKUNJUNGI

.



MUI, SERTIFIKAT HALAL DAN PERPUTARAN UANGNYA

Kita bisa membayangkan, bahwa dengan otoritasnya dalam pelabelan halal dan haram, MUI bisa mengelola trilyunan rupiah. 

Pembahasan mengenaiRancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH), sudah dua tahun ini mangkrak. Alasan yang disampaikan waktu itu, sangat banyak dan mendasar, karena jika dipaksakan, dikhawatirkan bisa menimbulkan banyak masalah.
Selain menimbulkan persaingan usaha, publik akan mempertanyakan siapa yang akan memungut uang hasil sertifikasi halal yang totalnya mencapai Rp 480 triliun dalam lima tahun? HANYA DALAM 5 TAHUN. Artinya setiap 5 tahun MUI menerima Rp 480 Triliun !!!
Bagaimana bisa sampai di angka Rp 480 Triliun ??
Masa berlaku sertifikasi halal adalah 3 tahun, dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak 6 bulan sebelum masa berlakunya habis. Artinya dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali mengurus surat halal. Sekali pengurusan biayanya sebesar Rp 6 juta, sehingga bila ditotalkan bisa mencapai Rp12 juta dalam lima tahun. Jika angka itu dikalikan dengan 40 juta pengusaha, maka hasil yang ditarik dari masyarakat dalam lima tahun mencapai Rp480 triliun. ini hanya dikalikan 40 juta pengusaha....
Saat ini DPR masih menggodok tentang siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, yang selama ini masih dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam pembahasan, MUI meminta dialah yang memegang sertifikasi dan negara hanya mengurus administrasi saja. Itu tarikan yang masih alot dalam pembahasan RUU. Padahal sebagai organisasi masyarakat, MUI tidak berhak melakukan penarikan terhadap uang dari masyarakat sebesar Rp 480 triliun tersebut. Yang berhak menarik uang dari masyarakat HANYA NEGARA.
Mengenai soal kehalalan (atau keharaman) jika hal itu sebagai urusan agama, maka bukan hanya MUI saja yang paham soal agama. Ada Muhammadiyah, NU, dan lainnya yang juga mempunyai ahli-ahli agama. Ingat kasus pengelolaan uang yang dulu dilakukan Yusuf Mansyur? Juga oleh kelompok ormas kriminal berlabel agama yang juga mau main kutip uang rakyat dengan alasan agama?
Menurut salah seorang anggota DPR, aneh jika Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU JPH dan hanya melibatkan Kementerian Agama sebagai wakil dari Pemerintah. Ia berpendapat sebaiknya negara melakukan penguatan-penguatan terlebih dahulu. Belum lagi jika kelak sampai pada praktik pelaksanaannya. Karena nantinya, daerah pun juga akan terkena dampak dari aturan ini. Pada kenyataannya, anggaran negara kita belum kuat, demikian juga pengusaha.
Pemerintahan SBY pada waktu itu berada dalam dilema, karena akan berhadapan dengan isu agama yang sensitif. Tapi, bangsa dan negara ini perlu makin sadar dan proporsional, bahwa atas nama agama bisa menjadi alat manipulasi bukan demi kemaslahatan umat saja, melainkan juga kepentingan para kapitalis bertopeng.

Jangan pula diabaikan, bahwa bola liar dari BPJS yang tidak sesuai syariah ini akan disusul dengan pembicaraan soal perlunya BPJS Syariah dan BPJS Konvensional, sebagaimana lembaga keuangan seperti bank dan asuransi kini juga mengenal Bank Syariah dan Asuransi Syariah. Dan itu bukan duit main-main dengan melibatkan MUI.

Dewan Syariah Nasional (DSN) mendesak Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuat produk asuransi berbasis syariah guna mengakomodir kepentingan umat muslim. Berdasarkan riset DSN, potensi pasar asuransi syariah di Indonesia cukup besar, di mana jumlah pesertanya minimal mencapai 7 juta orang. Terbayang berapa jumlah uang yang akan berputar di situ, dan arena syariah melibatkan MUI, apakah mereka mau gratisan untuk Negara?
BPJS Kesehatan dalam situs resminya merilis perkembangan jumlah peserta JKSN. Sampai dengan hari ini, Rabu (29/7), jumlah peserta Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKSN) lebih dari 148,5 juta jiwa. "Potensi dana kelolaannya tinggal dikalikan saja kalu rata-rata menyetor iuran 200 ribu sampai 300 ribu per bulan," kata Adiwarman.

Bukankah itu sumber perputaran uang yang mengiurkan?

ref. catatan A. Syah