Kup Soeharto bermodus seksualitas. Cerita penyayatan penis
sengaja dieksposnya untuk bangkitkan 'dendam' laki-laki. Akibatnya ratusan ribu
orang tewas mengenaskan.
Kurun waktu 1965-1966. Harian Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha kencang melempar berita perilaku tak senonoh aktivis Gerwani terhadap
tujuh perwira pada peristiwa 1 Oktober 1965. Dikabarkan para perempuan Gerwani
menyayat silet penis mereka sambil melenggang tarian "Harum Bunga".
Selepas itu hubungan seks bebas dilakukan massal di lapangan terbuka Lobang
Buaya. Benarkah? Kemana patut dilayangkan ucap kejut: astaga?
Pukul 10.30 waktu Amsterdam, tanggal 6 Oktober 1995. Sebuah
desertasi berhasil dipertahankan di hadapan komisi bentukan dewan para dekan
Universitas Amsterdam dengan Rektor Magnifikus Prof Dr PWM de Meijer. Desertasi
bertitel "The Politization of Gender Relations in Indonesia. The
Indonesian Women's Movement and Gerwani Until the New Order State" itu
ditulis oleh seorang feminis, peneliti dan dosen International Social Studies
(ISS) Den Haag, Saskia Eleonora Wieringa. Berangkat dari keprihatinan
menghadapi realita bahwa sejarah lisan dan tulisan melempar jauh perempuan dari
tinta dan ujaran.
Melalui desertasinya, Wieringa lebih dari sekedar menggugat
'dikembalikannya' perempuan sebagai subyek sejarah. Ia pun mencoba menulis
ulang bagaimana proses perebutan kekuasaan politik di Indonesia menyertakan
seksualitas sebagai pilihan strategi. Tugas Wieringa karenanya tidak lain
memerankan fungsi penulis secara semestinya. Peran seperti dituturkan Pramoedya
Ananta Toer dalam paragraf cerita pendek Buah Kawin. "Kau harus cerita
tentang hancurnya pengharapan. Orang harus berani merasakan penderitaan orang
lain. Kesenangan? Kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa
manusia."
Maka seusai rangkaian studi pustaka dan ratusan wawancara di
Indonesia, Belanda, Amerika dan Suriname, Wieringa menghabiskan beratus-ratus
lembar kertas membantah "kebenaran" selama ini bahwa Gerwani
melakukan kegiatan-kegiatan amoral dan asusila di Lobang Buaya. Toh kentara, ia
tidak bermaksud mengidealisir peran politik Gerwani. Wieringa justru banyak
melakukan kritik terhadap strategi Gerwani. "Terutama kecenderungan
Gerwani yang sesuai dengan garis PKI berpantang mengkritik sikap Soekarno dalam
masalah perkawinan," papar Prof WF Wertheim pada kesempatan di bulan
September 1998.
"Kultur patriarki yang kental di masyarakat Indonesia
sebetulnya menjadi faktor utama mengapa kampanye AD pimpinan Soeharto dimamah
secara sangat gampang," ujar Myra Diarsi berbicara pada peluncuran buku
Wieringa ini di Jakarta, 10 Nopember. (Versi Indonesia yang diterbitkan
Kalyanamitra dan Garba Budaya diberi judul "Penghancuran Gerakan Perempuan
di Indonesia"). Hubungan sosial politis terentang pada simbol-simbol
kelelakian yang mensubordinasi perempuan. "Maka ketika penis yang menjadi
dignity laki-laki diberitakan disayat-sayat, muncul kesadaran untuk melakukan
balasan," lanjut Myra.
Dengan kata lain, kampanye TNI AD disasarkan kepada sentimen
patriarki. Tragisnya, Gerwani yang dituduh melakukan kegiatan asusila secara
seksual justru kemudian mengalami peristiwa-peristiwa seksual yang mengerikan.
Tidak ada tempat aman bagi mereka. Aliansi perburuan perempuan Gerwani antara
beberapa kelompok masyarakat dukungan TNI AD menoreh kisah tersendiri. Tidak
terhitung banyak perempuan mati mengenaskan dengan tubuh dan alat kelamin tidak
utuh. Bahkan di penjara mereka tidak luput dari perlakuan serupa.
"Waktu di kamp kerja paksa Plantungan, Jawa Tengah,
kami sering diperkosa petugas. Malah dua perempuan sampai melahirkan
anak," tutur Mujiati yang dipenjara 14 tahun tanpa pengadilan pada
kesempatan peluncuran buku tersebut. Sekujur tubuhnya bergetar kencang.
Soeharto oleh Wieringa tegas ditunjuk bertanggung jawab atas
semua kampanye media massa dan dukungan langsung personil TNI AD, khususnya
Resimen Para Komando AD (RPKAD). Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam mengutip
paragraf Wieringa untuk menunjukkan tujuan siasat Soeharto menggunakan
seksualitas.
"Soeharto bertindak dengan cepat dan tegas. Ia pasti
menyadari bahwa yang diperlukannya bukan sekedar pameran kekuatan militer.
Adanya para perempuan di Lobang Buaya itulah yang digunakan sebagai amunisi
oleh Soeharto, demi transisi mental yang diangankannya. Dengan itu bukan hanya
perempuan yang berhimpun di sana akan dimusnahkan dengan segala daya, tetapi
juga kaum komunis dapat dijatuhkannya sama sekali. Sementara Soekarno dapat
dipertontonkan sebagai pemimpin yang tidak becus."
Itulah 'kup kedua' menurut Wieringa. Lalu kup pertama juga
didalangi Soeharto? Ia lebih setuju pada salah satu kesimpulan mengenai posisi
wait and ready Soeharto. "Soeharto sudah tahu sebelumnya akan terjadi kup,
tetapi ia memilih menunggu sambil melihat apa yang akan terjadi dan pada
saatnya mempecundangi baik Soekarno maupun Nasution."
Akibat ambisi keji sebuah gerakan perempuan yang cukup
militan dihancurkan. Toh, sajak Sugiarti penyair Lekra tetap dapat dijadikan
manifesto:
Kami bukan lagi bunga pajangan
yang layu dalam jambangan
Cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang
Kami bukan juga bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak
Penjual keringat murah
buruh separo harga
tiada perlindungan
tiada persamaan,
sarat dimuati beban
Kami telah berseru dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan:
'Kami manusia'. (*)
yang layu dalam jambangan
Cantik dalam menurut
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang
Kami bukan juga bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak
Penjual keringat murah
buruh separo harga
tiada perlindungan
tiada persamaan,
sarat dimuati beban
Kami telah berseru dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan:
'Kami manusia'. (*)