TOTAL DIKUNJUNGI

Menyingkap Kabut Halim 1965 sebagai Kontroversi Kisah Lubang Buaya.



SETIAP kali membicarakan kembali peristiwa "G30S/PKI" tahun 1965, nama Lubang Buaya pasti akan ikut disebut. Dan menyebut Lubang Buaya yang terletak dekat Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma, dengan sendirinya akan menyinggung "keterlibatan" TNI AU dalam peristiwa sejarah yang disebut "kabut Halim" itu.

Opini publik yang terbentuk selama ini memang menyiratkan indikasi adanya keterlibatan TNI AU dalam peristiwa G30S/PKI, karena dikait-kait-kan dengan Lubang Buaya. Tetapi Lubang Buaya yang mana? Sebab ada dua tempat di sekitar itu yang bernama Lubang Buaya.

Lubang Buaya yang pertama adalah sebuah desa yang berada di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. Kalau ditarik garis lurus, desa ini
berjarak tiga setengah kilometer dari Markas Komando Operasi PAU Halim Perdanakusuma. Sedangkan Lubang Buaya yang kedua adalah nama suatu lapangan dalam wilayah PAU Halim Perdanakusuma, yang biasanya dijadikan dropping zone untuk latihan penerjunan.

Di sekitar dropping zone inilah terjadi tembak-menembak antara pasukan RPKAD dan Batalyon 454 (Kedua pasukan itu hadir di alamat yang salah, seharusnya mereka ke Desa Lubang Buaya, bukan ke Lapangan Lubang Buaya yang menjadi dropping zone).

Fakta tentang dua Lubang Buaya ini terungkap dalam buku yang baru terbit, berjudul Menyingkap Kabut Halim 1965, yang acara peluncurannya dilakukan hari Selasa (9/11) ini di Jakarta, dengan menghadirkan pembicara sejarawan senior, Prof Dr Taufik Abdullah.

Buku yang disusun Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP-AU) ini, berusaha menam-pilkan sejumlah fakta baru, di samping berusaha pula meluruskan beberapa penafsiran keliru selama ini mengenai dugaan keterlibataan TNI AU dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
***
PEMBENTUKAN opini yang secara sengaja dan sistematis dilakukan selama lebih dari 30 tahun oleh rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memang berhasil membentuk citra negatif bahwa TNI AU (yang dahulu bernama Angkatan Udara Republik Indonesia) terlibat dalam peristiwa tersebut.

Ada sejumlah fakta yang dipakai untuk menunjang pembentukan opini tersebut, terutama fakta bahwa Lubang Buaya dijadikan sebagai basis pasukan PKI, dan di tempat ini pula jenazah ketujuh jenderal TNI AD ditemukan.
Kehadiran Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965, juga dijadikan alasan mengenai keterlibatan TNI AU. Selain itu disebutkan bahwa Menteri/Panglima AU Laksamana Madya Udara Omar Dhani menyetujui pembentukan "Angkatan Kelima" yang berintikan PKI.

Tetapi benarkah TNI AU terlibat dalam peristiwa G30S/PKI, dan kalau betul, seberapa jauh kadar keterlibatan tersebut?

Peristiwa G30S/PKI tahun 1965 sudah lama berlalu, dan dengan demikian ia telah menjadi bagian dari sejarah masa lalu bangsa ini. Sebagai bagian dari sejarah, tentu saja peristiwa itu akan selalu mengundang berbagai penafsiran post-factum, dengan sudut pandang atau kepentingan yang mungkin berbeda-beda.
Namun setiap usaha pengungkapan kembali terhadap peristiwa itu tetap menjadi penting, karena usaha seperti itu akan dapat memunculkan kembali sejumlah fakta baru, juga dapat meluruskan kembali penafsiran yang keliru atas peristiwa bersejarah tersebut.

Hal itu pulalah yang coba dilakukan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Perhimpunan Purnawirawan AURI (PPAU) melalui penyusunan dan penerbitan buku tersebut. Buku yang mulai disusun awal tahun ini, memang dimaksudkan sebagai semacam buku putih tentang kedudukan dan peranan TNI AU di seputar peristiwa G30S/ PKI.

Buku ini secara tegas membantah opini yang terbentuk selama ini bahwa TNI AU terlibat dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Secara individual memang diakui ada anggota TNI AU yang terlibat, namun tidak secara institusional.

Buku ini mengungkap secara terus terang peranan Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) Halim, yang menjadi pimpinan latihan kemiliteran bagi sekitar 2.000 sukarelawan binaan PKI di Desa Lubang Buaya. Tetapi tindakan Sujono sudah berada di luar jalur komando resmi pimpinan TNI AU. Jadi Sujono memang terlibat penuh dan merupakan kader PKI.

Sebaliknya tuduhan bahwa Omar Dhani terlibat karena berpihak dan melindungi Bung Karno, tidak berdasar. Diungkapkan dalam buku bahwa selama 16 tahun di bawah pimpinan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma hingga tahun 1962, AURI tidak mengenal politik kecuali politik negara. Sedangkan sejak AURI di bawah pimpinan Omar Dhani, dia langsung berhadapan dengan situasi politik yang mengharuskannya turut serta beretorika "Berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, tanpa reserve."

Sementara pimpinan militer lainnya, khususnya Angkatan Darat terkesan mempunyai sikap politik yang berbeda, dan tidak begitu saja bersedia menerima keputusan politik Bung Karno.
***
ADA hal baru dan penting yang terungkap dalam buku ini, yakni bahwa tuduhan keterlibatan TNI AU dalam G30S/PKI yang dilontarkan oleh pimpinan Angkatan Darat waktu itu (yaitu Mayor Jenderal Soeharto) sebenarnya dilandasi oleh friksi yang sedang berproses di antara politisi sipil maupun elite pimpinan ABRI waktu itu, yaitu sejak dilancarkannya konfrontasi terhadap Malaysia.

Operasi sebelumnya untuk membebaskan Irian Barat (Trikora) telah memberikan pelajaran bagi Bung Karno tentang pentingnya keunggulan Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam operasi militer. Maka ketika mencanangkan Konfrontasi Malaysia, Bung Karno menunjuk Menteri/Pangau Laksamana Madya Udara Omar Dhani memimpin Operasi Komando Siaga, yang kemudian diubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).
Penunjukan ini mendapat reaksi keras dari TNI AD. Akibatnya Operasi Kolaga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena keengganan pimpinan TNI AD untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama pengiriman pasukan ke daerah perbatasan.

Berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga ikut mewarnai iklim politik selama prolog G30S/ PKI, dan hal itu dimanfaatkan oleh PKI untuk semakin mempertentangkan elite politik di sekitar Bung Karno, termasuk mempertentangkan pimpinan TNI AU dengan pimpinan TNI AD.
***
SEBAGAI suatu tragedi nasional, peristiwa G30S/PKI akan tetap dikenang, walaupun itu adalah kenangan tentang kepahitan dan kegetiran bahkan amarah dan dendam. Namun pengungkapan peristiwa itu dapat memberi pelajaran berharga dari pengalaman masa lampau.

Dan sebagai bagian dari usaha untuk tetap mempelajari pengalaman masa lampau itulah, kita akan tetap terbuka menerima segala penafsiran yang muncul mengenai peristiwa tersebut, maupun penafsiran mengenai akibat-akibatnya jauh sesudah peristiwa tersebut berlalu.

Dalam konteks itulah, pengungkapan fakta-fakta baru melalui buku ini barangkali dapat membantu pemahaman kembali secara lebih proporsional peristiwa sejarah 34 tahun lalu itu. (manuel kaisiepo)