TOTAL DIKUNJUNGI

Warisan Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko



“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” - Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).

Sekilas Perjalanan Freeport di Indonesia
Spoiler for Freeport's History:
Skenario Pesta Kenduri Bancakan SDA Indonesia di Genewa-Swiss Tahun 1967
Quote:Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.

Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Soemitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Soemitro di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).

Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Ane kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” Ane terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.

Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan titik balik masuknya kembali bangsa Indonesia kepada penjajahan ekonomi gaya baru, Neo-Liberalism.

Sejak Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.

Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.

Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.

Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.

Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya.