“Salah
satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari
Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa
yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan,
menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan
kolonialisme Barat,” - Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).
Sekilas Perjalanan Freeport di Indonesia
Sekilas Perjalanan Freeport di Indonesia
Spoiler for Freeport's History:
![](https://2.bp.blogspot.com/-B0Yt6nUbSkw/V5hLiIv9oyI/AAAAAAAAAJc/UJ--T1Y0iOYGoKRkn-eu00YOleK-7jKHgCLcB/s1600/Lubang%2BFreeport%2Bmu.jpg)
Quote:Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.
Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah
mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko
yang berasal dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap
Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Soemitro diketahui menyambut baik
Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa
tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian
panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka
untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Soemitro
di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation
menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan
dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah
insentif bagi modal asing (Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin;
2008.p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam
negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di
Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan
Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo. Tim ini kelak
disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang
dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya
dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan
kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di
Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang
kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The
NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut
dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Ane kutip apa yang ditulis oleh John Pilger
dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” Ane
terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo) yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi
Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang
spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University,
Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya,
Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya
ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke
meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan
mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana
modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai
negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke
dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan
tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium
Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar
dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan
Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan
kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya.
Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah
Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad
Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana,
kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan titik
balik masuknya kembali bangsa Indonesia kepada penjajahan ekonomi gaya baru,
Neo-Liberalism.
Sejak Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.
Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.
Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.
Sejak Konferensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.
Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.
Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up (korupsi), dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok Mafia Berkeley untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.
Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita yang
menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak
tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.
Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan
kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal
harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar
dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil
dijadikan kroni-kroninya.